Praktisi ISO Management System and Compliance
Kesehatan Jiwa Generasi Muda, Isu Kemanusiaan yang Terus Diabaikan
4 jam lalu
Generasi muda kita lelah. Tapi alih-alih dukungan, mereka dapat stigma. Kapan kita berhenti menganggap kesehatan jiwa sebagai aib?
***
Pada suatu malam di akhir 2024, seorang mahasiswi semester akhir di Surabaya mengunggah status singkat di Instagram Story-nya: “Aku lelah. Tapi aku takut bilang ke siapa-siapa.” Dalam hitungan jam, unggahan itu dibanjiri pesan pribadi dari teman-temannya: “Aku juga,” “Aku tiap hari nangis diam-diam,” “Aku pura-pura baik-baik saja.” Tidak ada drama besar, tidak ada teriakan—hanya deretan kalimat pendek yang membongkar luka kolektif yang selama ini dipendam.
Ini bukan sekadar cerita sedih. Ini adalah gejala dari sebuah krisis kemanusiaan yang terus diabaikan: kesehatan jiwa generasi muda Indonesia berada dalam kondisi darurat.
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023 menunjukkan angka yang mencemaskan: prevalensi gangguan mental emosional pada kelompok usia 15–24 tahun meningkat menjadi 16,2%, naik signifikan dari 8,7% pada 2018. WHO juga mencatat bahwa bunuh diri telah menjadi penyebab utama kematian bagi remaja usia 15–19 tahun di Asia Tenggara. Di balik angka-angka itu, ada ribuan anak muda yang setiap hari berjuang melawan depresi, kecemasan, dan burnout—dengan dukungan yang nyaris tidak ada.
Yang lebih menyedihkan, ketika mereka meminta bantuan, yang datang justru stigma. “Kamu cuma kurang ibadah,” kata sebagian orang tua. “Generasi manja,” ujar yang lain. Bahkan di lingkungan kerja dan sekolah, isu kesehatan jiwa masih sering dianggap sebagai aib atau tanda kelemahan karakter. Akibatnya, banyak yang memilih diam, menahan rasa sakit, dan terus berpura-pura kuat—sampai titik patah.
Sistem layanan kesehatan pun belum siap. Menurut Ikatan Psikologi Klinis Indonesia (IPKlI), dibutuhkan satu psikolog untuk setiap 10.000 orang. Faktanya, jumlah psikolog di seluruh Indonesia baru sekitar 4.000, dengan distribusi yang sangat timpang—sebagian besar berkonsentrasi di Jawa dan kota besar. BPJS Kesehatan belum sepenuhnya menjamin akses ke layanan psikologis, dan biaya konseling privat yang bisa mencapai jutaan rupiah per bulan membuatnya jadi kemewahan yang tak terjangkau bagi mayoritas.
Di tengah semua itu, tekanan zaman terus bertambah. Gen Z tumbuh dalam dunia yang simultan terhubung dan rentan: mereka melihat ketimpangan sosial hanya dengan sekali geser layar, merasakan beban ekspektasi akademik dan karier yang tinggi, serta hidup dalam budaya toxic productivity yang menghargai kerja keras melebihi kesejahteraan. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang ekspresi, justru menjadi sumber stres baru—dengan standar estetika yang tidak realistis, kompetisi siluman, dan fear of missing out (FOMO).
Padahal, kesehatan jiwa bukan soal “kuat atau tidak kuat”. Ia adalah kondisi medis yang butuh deteksi dini, penanganan profesional, dan dukungan sistemik. Dan inilah yang gagal kita bangun.
Negara-negara lain sudah bergerak. Di Finlandia, literasi kesehatan jiwa diajarkan sejak SD. Di Jepang, sekolah wajib memiliki petugas konseling dan program mental health day. Di Australia, universitas menyediakan layanan konseling gratis dan crisis hotline yang mudah diakses. Semua ini didukung oleh kebijakan publik yang serius, bukan hanya kampanye simbolik.
Di Indonesia, kita masih terjebak pada pendekatan parsial. Beberapa kampus dan perusahaan mulai menyediakan layanan konseling, tapi bersifat sukarela dan terbatas. Program seperti “Hari Tanpa Celana” atau “Senin Ceria” sering kali jadi viral, tapi tidak diikuti oleh struktur pendukung yang memadai. Kita merayakan kesadaran, tapi lupa membangun sistem.
Maka, saatnya kita beranjak dari retorika ke aksi nyata. Pertama, integrasikan pendidikan kesehatan jiwa dalam kurikulum nasional, mulai dari sekolah dasar. Guru harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental dan merespons dengan empati, bukan hukuman atau celaan. Kedua, perluas cakupan BPJS Kesehatan untuk layanan psikologis, termasuk konseling daring, agar bisa menjangkau daerah terpencil. Ketiga, luncurkan kampanye nasional anti-stigma yang libatkan tokoh agama, influencer, dan komunitas lokal untuk mengubah persepsi masyarakat.
Terakhir, kita perlu membangun layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas: posyandu jiwa, relawan terlatih di desa, dan jejaring dukungan sebaya (peer support) yang bisa menjadi garda terdepan deteksi dini.
Ketika listrik padam, kita langsung bicara soal infrastruktur nasional. Tapi ketika jiwa anak-anak muda kita “padam”, kita masih menyalahkan individunya. Padahal, kesehatan jiwa adalah fondasi dari segalanya: produktivitas, inovasi, bahkan demokrasi. Bangsa yang mengabaikan kesejahteraan mental generasi mudanya bukan hanya kehilangan potensi—ia kehilangan masa depan.
Karena kesehatan jiwa bukan kemewahan. Ia adalah hak asasi.
Dan jika kita terus mengabaikannya, kita bukan sedang berhemat—kita sedang membangun bangsa di atas puing-puing yang rapuh.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler